SELAMAT DATANG DI BLOG MEDIA ONLINE SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS UDAYANA

Senin, 03 Januari 2011

Ketegaran Yasa dalam Kepahitan Hidup

          Sepuluh bulan merantau ke Eropa tak pernah dibayangkan oleh Yasa. Dalam waktu yang singkat itu pula ia kehilangan keponakannya yang merupakan anak dari almarhum kakaknya. Anak yang sudah dianggap anaknya sendiri meninggal di usia delapan tahun karena ganasnya kanker otak. Terbersit rasa sesal dalam hatinya saat melihat anak yang selalu ia banggakan hanya tinggal abu. Pemuda tinggi berkulit putih kelahiran Poh Santen, 20 Desember 1980 itu hanya bisa menangis, menangisi kenyataan pahit dalam hidupnya. Kepergian pemilik nama lengkap I Kadek Yasa ini bekerja ke luar negeri untuk menggapai cita-citanya seakan-akan menjadi petaka.
          Sudah sejak lama ia berkeinginan bekerja ke luar negeri karena saat ini ia satu-satunya tulang punggung keluarga setelah kakaknya meninggal dunia. Selama dua tahun ia berusaha mencari informasi tentang cara agar dapat bekerja ke sana. Akhirnya ia mendapat panggilan dari salah satu perusahaan kapal pesiar di Eropa.
          “Pak Adek mau kemana? Kok baju-bajunya dimasukin ke dalam tas?” celoteh Wayan saat melihat Yasa sedang sibuk mengemasi barang-barangnya. Sambil menahan air mata yang yang telah nyaris menetes ia menatap Wayan, anak kebanggaannya “Pak Adek mau kerja, biar nanti kamu bisa sekolah yang tinggi. Kalau Pak Adek kerja, kamu jaga nenek ya, jangan nakal!” ucap Yasa sembari mengusap kepala Wayan. Anak itu hanya manggut-manggut tanda mengerti.
          Tak ada firasat apapun yang dirasakan saat ia memutuskan mengambil pekerjaan tersebut. Dengan penuh semangat dan ketekunan ia bekerja hingga mendapat penghargaan karyawan terbaik diantara hampir 1000 karyawan. Bahkan dua kali berturut-turut penghargaan itu ia peroleh, walaupun saingannya berasal dari negara lain. Semua itu Yasa lakukan untuk keluarga dan pacarnya. Tak jarang ia menangis saat menelepon ke Bali. Rasa rindu yang membuncah dalam hatinya terasa begitu menusuk. Namun saat bekerja ia harus tetap terlihat tenang dan tersenyum. Hanya dengan bekal dukungan dari orang-orang yang ia sayang yang mampu membuatnya bertahan.
          Keinginannya untuk menyekolahkan dan membahagiakan keponakannya yang telah yatim semenjak bayi begitu kuat. Sampai bulan ketujuh ia mendapat kabar keponakannya masuk rumah sakit karena panas yang tak kunjung turun dan mengeluh pusing. Sempat ia panik dan tidak konsentrasi saat bekerja. Empat hari mendapat perawatan anak itupun meninggal. Namun Yasa tak pernah tahu hal itu. Ia hanya diberi tahu kalau keponakannya baik-baik saja. Tidak ada yang berani mengatakan kenyataan itu padanya termasuk pacarnya yang sangat ia percaya. Sampai prosesi pembakaran dan penguburan keponakannya selesai barulah ia diberi tahu oleh ibunya. Saat itu dipikirannya hanya ada keinginan untuk pulang, tetapi kontrak kerja dengan perusahaan yang tak bisa ia abaikan.
          Sempat ia mengutarakan keinginannya untuk pulang kepada atasannya. Namun, ia harus kembali menelan pil pahit,  jawaban yang diberikan atasannya benar-benar membuat harapannya untuk segera pulang menjadi pupus. “Apakah dengan kamu pulang ke Bali akan membuat keponakanmu hidup kembali? Berpikirlah yang lebih dewasa, kamu laki-laki jangan cengeng seperti itu!” jawab Sergio yang merupakan atasan Yasa sambil berlalu meninggalkan Yasa. Ingin rasanya saat itu juga ia menenggelamkan dirinya ke dalam lautan. Kembali ia teringat janjinya pada Chacha pacarnya saat akan berpisah “Sayang, sabar ya. Cuma sepuluh bulan kok, Adek janji akan kembali.”
          Yasa berusaha tegar, tetapi tak bisa dipungkiri rasa sedih memunculkan kemelut yang berkecambuk dalam hatinya. “Kenapa harus Wayan? Kenapa bukan Adek? Kenapa Cha bohong tentang keadaan Wayan? Cha orang yang paling Adek percaya, tapi Cha malah seperti ini!” seluruh amarahnya ia tumpahkan saat menelepon pacarnya.
          Tiga bulan berikutnya ia sampai di Bandara Ngurah Rai dengan langkah gontai dan tak bersemangat. Malam itu ia hanya dijemput pacarnya karena orangtuanya telah menunggu di Karangasem untuk persiapan pengabenan massal. “Istirahat di sini dulu ya, besok pagi-pagi kita berangkat ke kampung gimana? Kebetulan besok pagi ngangkid tulang biar Adek bisa ikut bersihin.” tanya pacarnya. Yasa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
          Ia langsung minta diantar ke Karangasem. Matanya berkaca-kaca selama perjalanan. Raut sedih tak bisa ia sembunyikan, walaupun dalam hatinya ia bahagia bisa pulang dengan selamat dan bisa bertemu orang-orang yang ia sayangi. Ia tak banyak bicara, hanya sesekali menatap Chacha yang duduk di sebelahnya. “Makasih Cha uda selalu nemenin Adek, maaf kalau Adek marah-marah kemarin.” ucapnya. Malam itu jalan bypass Ida Bagus Mantra tidak terlalu ramai, setelah menempuh waktu dua jam Yasa sampai di kampungnya.
          Tanggal 28 Juli 2009 adalah hari yang tak akan pernah ia lupa, karena hari itu adalah hari pengabenan kakak dan keponakannya. Hari itu ia tidak menangis karena ia ingat  pada kakak dan keponakannya saat mepeluasang yang meminta untuk tidak dibekali dengan air mata. Akan tetapi hatinya yang menangis._Cha
cha

0 komentar:

Posting Komentar

 
Cheap Web Hosting | Top Web Hosts | Great HTML Templates from easytemplates.com.