SELAMAT DATANG DI BLOG MEDIA ONLINE SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS UDAYANA

Rabu, 05 Januari 2011

Apa, Ada “Gayus” di Parkiran???

Stop!!!

MAJAS -  Denpasar sore itu lalu lintas sangat padat. Bising kendaraan menggama di sudut kota.  Kemacetan pun menjadi pemandangan yang biasa di seputaran jalan Gajah Mada. Ruas jalan yang sempit ditambah parkir yang tak teratur menambah suasana kemacetan menjadi padat merapat. Juru parkir pun hanya pelengkap pemandangan jalan Gajah Mada.
Ketika kami mengunjungi alun-alun kota Denpasar bersama teman-teman beberapa waktu yang lalu, banyak sekali saya jumpai para juru parkir yang hampir semuanya memakai seragam berwarna biru, selain itu juga saya temui areal parkir yang digunakan itu ada tanda yang menyatakan bahwa “Disini di larang parkir (jalan Hayam Wuruk).”
Pada saat saya berbincang-bincang dengan seorang juru parkir di alun-alun kota Denpasar, hampir semua juru parkirnya merupakan anggota dari sebuah komunitas yang memang dibentuk untuk menaungi para juru parkir yang ada di alun-alun kota Denpasar. Salah satu atribut yang digunakan sebagai bukti bahwa mereka merupakan komunitas adalah menggunakan seragam yang berwarna biru tersebut. Di alun-alun kota Denpasar tarif parkir sepada motor yang di pasang perkendaraanya adalah Rp 1000  sedangkan untuk kendaraan roda empat dipasang tarif hingga Rp 2000. Untuk ukuran tarif parkir sepeda motor nominal ini tergolong mahal.
Salah satu narasumber yang saya ajak bincang-bincang adalah Pak john, beliau ini sudah delapan tahunan bekerja sebagai juru parkir di alun-alun kota Denpasar. “Di alun-alun ini kami (para juru parkir) berada di bawah naungan sebuah komunitas, yang mana didalam komunitas ini terbagi dalam 19 kelompok dan di tiap-tiap kelompoknya itu ada sekitar 3-7 orang juru  parkir yang ada di alun-alun kota Denpasar mengaku sudah memperoleh izin untuk mendirikan komunitas dan izin untuk membuka lahan parkir di areal alun-alun dari pemerintah kota Denpasar, tapi sepeserpun komunitas ini belum pernah memberikan iuran atau pajak kepada Pemkot. Semua hasil dari penarikan parkir akan menjadi milik perorangan dari komunitas  dan beberapa disisihkan untuk komunitas sendiri, yaitu iuran perminggunya sebesar Rp. 10.000“, Untuk uang hasil dari parkir ini perseorangan mbak! Atau hasilnya nanti untuk kami pribadi. Hasil yang diperuntukkan untuk komunitas akan ada iurannya sendiri, yaitu setiap malam minggu. Setiap malam minggu akan ada wakil dari komunitas kami yang menarik iuran sebesar Rp. 10.000 permasing-masing kelompok. Sedangkan untuk Pemkot kaya’nya nggak ada iuran-iuran apapun. Kami memang mendapatkan izin untuk mendirikan komunitas serta membuka lahan parkir di areal luar alun-alun ini oleh pemerintah kota Denpasar, tetapi kami sekalipun belum pernah membayar sepeser uangpun kepada pihak pemerintah kota. Bagi kami asalkan udah dapat izin, kami tidak perlu mengeluarkan uang untuk pemerintah.” Tutur Pak John.
Dalam satu komunitas parkir itu ada 95 anggota dan dalam sehari setiap anggota minimal bisa menghandel 35 sampai 40 kendaran, artinya perharinya setiap anggota komunitas parkir itu bisa berpendapatan Rp. 35.000 hingga Rp.40.000 pada hari-hari biasa dan ditiap akhir pekan sudah bisa mengantongi kurang lebih RP. 350.000. Jika semua hasil itu dikalikan 365 hari dan dikalikan dengan semua jumlah anggota dari komunitas akan diperoleh hasil Rp. 2.736.000.000,00
Dari jumlah uang yang fantastis tersebut sepeserpun pemerintah kota yang disini adalah sebagai pengelola sekaligus penanggung jawab resmi dari alun-alun sendiri tidak mendapatkan bagiannya. Meskipun setiap tahunnya pemerintah akan mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit untuk tujuan renovasi dan pelestarian lingkungan di alun-alun, tidak ada dana hasil dari alun-alun sendiri yang masuk ke kas daerah, ini membuktikan bahwa uang pemerintah kota telah menguap tanpa jejak.
Selain mengenai uang parkir adalah mengenai rambu-rambu dan penyalahgunaan lahan, ketika saya meninjau lokasi taman kota tersebut, saya mendapati adanya sebuah rambu-rambu yang dipasang di depan pagar kantor kabupaten atau tepatnya berada di timur alun-alun yang jelas-jelas menyatakan bahwa “Disini dilarang parkir ” dipindahkan dan malah dialih fungsikan menjadi lahan parkir.
Ketika saya mengkonfirmasinya kepada Anto (32) salah seorang jukir yang kebetulan bertugas di areal itu mengatakan “Kami sudah mendapatkan izin dari pemerintah kota, jadi kami mempunyai hak untuk membuka lahan parkir di sekitar alun-alun ini, kami bebas memilih areal mana yang kami pakai sebagai tempat parkir. Pokoknya itu berada diluar pagar alun-alunnya dan masih pada batas wilayah alun-alun ini, ya.. termasuk disini (areal yang sebelumnya ada tanda “Dilarang parkir”).”
(DSD)


0 komentar:

Posting Komentar

 
Cheap Web Hosting | Top Web Hosts | Great HTML Templates from easytemplates.com.